Vampir Yang Dipamerkan
Di ruang sempit berteralis, vampir itu sedang menghisap satu lagi leher ayam hitam yang menggelepar. Air mukanya belum menunjukkan kepuasan. Makhluk itu masih menahan haus.
Paling tidak itu yang sedang aku rasakan saat melihatnya. Aku tahu seperti apa yang sedang ia rasakan: seperti derita yang aku rasakan saat dua minggu ini menahan diri untuk tidak merokok dan membiasakan untuk mengulum permen karet sebagai pelampiasan!
***
Namanya Franky
“Lho jadi dia saudaramu?” tanyaku kepada partner baruku.
“Yarp! Secara teknis dan medis.”
“Tapi…ehm, maaf lho ya? Kalian kok beda? Kamu ganteng gini,” protesku setengah tersipu setengah sungkan.
“Yarp! Kepalaku dari seorang model yang pernah main film, badanku dari atlet senam, kedua tanganku dari seorang pekerja kasar, otakku adalah otak ilmuwan,” partner saya dengan sabar menjelaskan.
“Lalu, saudaramu?” tanyaku belum puas.
“Sama. Tapi kata mereka ia produk gagal. Tapi bagiku tidak. Jantungnya bagus sekali.”
“O ya, siapa nama saudaramu?”
“Aku memanggilnya Franky. Frankenstein.”
“Nama yang bagus. Ya sudah, lekas kita kuras brankasnya!”
Satu lagi bank yang berhasil kami rampok malam itu. Kami memang partner yang hebat. Paling tidak itulah pujian dari bosku.
***
“Why Green?”
Jenderal itu tersenyum puas melihat obyek percobaan dengan kode GR33N.
Kata Jenderal, “Monster ini yang paling sempurna! Sekali ia marah, maka ia akan tiwikromo menjadi raksasa yang tak kan terhentikan!”
Bahan uji coba paripurna yang telah menjadi manusia lagi itu memandangi sang Jenderal dan para ilmuwan yang tersenyum puas.
“Why me?” ratap lelaki itu.
“No, the right question is…”Why green?” jawab Sang Jenderal dengan tenangnya.
Laboratorium itu sebelumnya telah menciptakan 32 monster yang sama mengerikannya, namun mereka belum mendapatkan jenis yang diinginkan: pigmen hijau.
Di ruangan lain, seorang berjas putih berusaha menjelaskan sesuatu kepada seorang lain yang berjas hitam.
“You know, color is a significant thing. Once this green ogre comes out of a mosque and destroys the place, it gives that religion the worst name for good.”
Seperti yang diterbitkan pada laman akun Kompasiana penulis di http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2012/06/19/tiga-kisah-monster-471014.html
Ditandai:cerita fiksi, cerita mini, cerita monster, cermin, fiction, fiksi
Setahun gak ngeblog. Makin keren aja blog mu. 🙂
Wah…long time no see, hehe. Makasih mau mampir lagi.
Waduh, ini cuma ganti tema aja Gan. BTW ane juga lama ga ngeblog Gan, lagi hobi “ngompas” alias main di Kompasiana. Agan Kompasianer jugakah? 🙂